Tuesday, August 23, 2011

Ketika Keramahan Disalah Artikan

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir bahwa keramahan bisa disalah artikan begitu jauhnya. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, tepatnya di tanah Sunda, keramahan adalah suatu hal yang sudah diajarkan sejak dini. Dari kecil saya diajarkan untuk selalu menghormati orang lain terutama yang lebih tua, menghargai sesama dan tidak boleh lupa untuk selalu memberikan senyuman kepada setiap orang yang saya temui. 

Senyum adalah ibadah, inilah yang selalu saya ingat di dalam pikiran saya. Ketika senyuman kita bisa memberikan keceriaan, ketenangan dan ketentraman untuk orang-orang di sekitar kita. Karena itu sejak kecil saya belajar untuk selalu tersenyum dan bersikap ramah dengan orang-orang yang saya temui. Memang tidak bisa dipungkiri, sebagai manusia biasa ada kalanya saya sedang tidak ingin tersenyum karena sedih. Ada kalanya saya hanya ingin diam dan tak berekspresi. Tapi saya selalu berusaha untuk menekan semua itu apabila saya sedang berada di tempat umum.

Namun beberapa kejadian yang saya alami belakangan ini, mulai mengusik dan menyadarkan saya sampai akhirnya saya bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini keramahan yang saya berikan itu menjadi terlalu berlebihan atau orang yang saya beri keramahan ini menanggapinya dengan salah? Apakah keramahan yang memang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sudah menjadi barang yang eksklusif sehingga apabila ada yang melakukannya lalu disalah artikan? Saya mencoba merenung dan mengingat kembali beberapa kejadian yang saya alami.


Pertama, terkait dengan pekerjaan saya. Saya bekerja di tempat dimana posisi saya sering berhubungan dengan orang banyak. Di tempat saya bekerja, kami sering mengadakan lokakarya, seminar, maupun training baik di dalam ataupun di luar kota. Di setiap kegiatan itu tentunya saya harus menghormati para peserta dan menunjukkan sikap ramah. Namun tidak jarang, beberapa peserta menganggap sikap saya itu sebagai undangan bagi mereka untuk hal yang lain yang seringkali menurut saya tidak senonoh. Bahkan kalau di luar kota, ada peserta yang mencari tahu saya menginap di kamar yang mana, ada juga yang selalu ingin tahu kegiatan saya setelah acara selesai setiap harinya. Terjebak antara nilai-nilai ketimuran dan keramahan yang ditanamkan di diri saya sejak kecil dengan batasan yang harus saya berikan terkait hal-hal seperti ini, saya lalu mengalami dilema. Saya harus bisa tetap ramah tanpa menyinggung perasaan orang lain. Meskipun di dalam hati rasanya saya ingin sekali marah. Beruntung di saat-saat sepeti ini saya punya rekan-rekan kerja yang selalu siap membantu dan melindungi saya sehingga saya tetap bisa menjalankan pekerjaan saya dengan baik. Lalu saya berpikir, seandainya hal seperti ini terjadi lagi dan tidak ada satupun rekan kerja di sekitar saya, apa yang harus saya lakukan? Saya tahu saya harus bisa menjadi tegas. Namun sejauh mana ketegasan itu bisa saya lakukan. Karena seringkali keramahan lah yang disalahkan. Saya dianggap bersikap terlalu ramah sehingga senyuman saja bisa dianggap "mengundang" padahal sejatinya, sesuai dengan apa yang diajarkan kepada saya sejak kecil apa yang saya lakukan masih dalam taraf wajar.

Kedua, dalam urusan memberikan nomer telefon saya. Seringkali nomer itu saya berikan dalam konteks urusan-urusan di luar urusan pribadi. Tapi seringkali juga, telefon dilakukan justru untuk membahas urusan-urusan yang sifatnya pribadi. Sebagai contoh dari yang paling sederhana adalah dalam urusan belanja. Selama ini saya punya langganan Swalayan yang memberikan jasa antar belanjaan ke rumah. Jadi saya cukup telefon dan menyebutkan kebutuhan saya lalu mereka akan mengirimkan belanjaan ke rumah. Buat saya ini adalah hal yang praktis dan efisien untuk dilakukan. Setiap pemesanan selalu diantar oleh orang yang sama. Sebagai manusia, saya selalu berusaha bersikap ramah tanpa pandang bulu. Berbasa-basi sedikit dengan orang yang mengantarkan pesanan buat saya masih dalam taraf wajar. Yang saya bicarakan juga hanya sebatas pesanan saya. Semua ini saya lakukan sampai suatu saat, orang tersebut menelepon saya untuk urusan pribadi. Saya lalau merasa tidak nyaman lagi. Saya bukannya memandang sebelah mata terhadap orang ini, tapi saya merasa selama ini memang saya hanya membicarakan urusan belanjaan dan tidak lain daripada itu. Saya memberikan nomer telepon saya hanya sebatas urusan pesanan. Lalu di sebelah mana keramahan yang saya berikan disalah artikan kembali sebagai hal yang "mengundang" bagi dia?

Masih ada beberapa kejadian lain, tapi 2 kejadian ini cukup membuat saya melakukan introspeksi diri. Apakah memang selama ini saya terlalu ramah kepada orang-orang yang saya temui? Apakah senyuman dan gerak tubuh saya memang terlalu "mengundang"? Saya mulai bertanya dengan orang-orang di sekitar saya apakah memang benar saya seperti itu? Apakah memang saya sudah terlalu ramah sehingga melewati taraf kewajaran? Karena selama ini saya selalu merasa bahwa apa yang saya lakukan dulu tidak pernah menimbulkan keraguan dan kebingungan. Semua yang saya lakukan adalah hasil dari didikan orang tua saya yang ditanamkan sejak kecil. Apakah dengan kejadian ini saya harus lebih berhati-hati dalam tersenyum, dalam memberikan keramahan kepada orang-orang yang saya temui? Lalu apa yang terjadi dengan keramahan yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia ketika semua itu mulai dibatasi, ketika senyuman juga mulai dibatasi?? 

No comments:

Post a Comment